“Jihad Moderat” Indonesia Kuat
Oleh, Prof. Dr.H. Wawan Wahyuddin, MPd,
Rektor UIN Sultan Maulana Hasanuddin (SMH), Banten.
(ENGLISH) Tidak semua orang bisa menerima jiwa yang moderat. Untungnya muslim di Indonesia lebih banyak berjiwa moderat. Kemoderatan itu tentu tidak serta merta begitu tercipta tanpa alasan yang kuat.
Dalam beragama dengan prilaku moderat, tentu pertama: di agama itu sendiri dimana kalau Islam, ada di surat Al Hujurat ayat 13, “….dan menjadikan kamu bersuku-suku, berbangsa-bangsa…”. Dan kedua; di budaya, yang mana setiap suku tentu punya budaya masing-masing.
Di wiliyah kepulauan disisi timur yang dikenal Nusantara, sejak runtuhnya Majapahit Islam dengan tangan-tangan dingin Wali Songo semakin berkembang. Para wali mengerti manusia sulit untuk dipisahkan dengn budayanya.
Karena memang budaya itu semacem pakaian suku dalam karakter atau tipografi. Sehingga dalam penyebaran agama tentu diolah sedemikian rupa yang penting tidak melanggar syariat. Dan bisa diterima oleh masyarakat setempat.
Misalnya, acara panjang mulud di Banten, itu merupakan tradisi, bukan agama. Namun tradisi itu memeriahkan acara keagamaan. Itulah yang ditegaskan H. Roma Irama, tradisi budaya itu tidak melanggar syariah, jadi tidak ada yang salah.
Dengan banyaknya tradisi keagamaan yang tercipta. Dan sudah menjadi kekuatan yang mempengaruhi aspek kehidupan, terlebih dalam hal ekonomi. Sehingga tradisi keagamaan itu membawa mamfaat.
Misalnya saat acara muludan, ada acara buat panjang. Yang panjang itu adalah miniatur bangunan, bisa rumah, masjis, kapal atau bentuk hewan jerafah, kerbau, ikan dan lainnya. Dengan acara panjang mulud perputaran ekonomi terjadi, yang jual telur, kertas hiasan jadi laku.
Sehingga dengan jiwa yang moderat dari ulama terdahulu menciptakan panjang mulud dan sejenisnya menjadi buah mamfaat hingga kini. Dalam hal ekonomi tadi. Dengan menyatunya yang bersipat keagamaan dengan budaya karena kemoderatan itu.
Maka pada hari santri yang jatuh pada tanggal 22 Oktober, hari itu saat Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, menyatakan resolusi jihad, pada 22 Oktober 1945. Menjadi sebuah kenyataan moderasi kini menjadi kekuatan tak salah pula dijihadkan.
Jihad disini dalam sikap lentur dan lunak untuk terus menerus menanamkan sikap moderat. Sikap lentur dan lunak itu pada saat aksi membawa orang atau warga untuk bersikap lentur dan lunak. Namun sikap itu diharap kokoh, dalam artian berjihad dalam sikap lentur dan lunak.
Mengapa harus lentur, karena kelenturan bersikap membuat orang lain menerima. Mengapa harus lunak, karena kelunakan bersikap membuat orang lain percaya, suka, tidak memusingkan. Sehingga sikap lentur dan lunak penting dan perlu.
Lentur Diimbangi Lebih Lentur
Kekuatan sikap lentur dan lunak sesungguhnya sudah ada sejak nenek moyang bangsa Indonesia. Sehingga pelbagai budaya, kepercayaan, agama diterima dengan baik tanpa ada keributan. Walau pada dasarnya semua itu disaring oleh nurani nenek moyang bangsa di Nusantara.
Kebudayaan, keyakinan, agama yang silih berdatangan diterima namun bila dianggap kurang pas ganti lagi pada yang baru. Maka datangnya Islam di Jawa saat baru runtuhnya Majapahit sempat ditolak dengan halus dan lembut oleh Sabdo Palon Nayagenggong.
Kata Sabdo Palon Nayagenggong, “Kami sudah punya kepercayaan seperti agama yang diajarkan Kanjeng Rosul dari Arab. Kepercayaan kami sudah pas, seumpama baju kalau dipakai sedang, tidak kesempitan juga tidak kelonggaran,” tuturnya pada pendakwah Islam diantaranya para Sunan saat itu.
Dan kelenturan serta lunak diimbangi lebih lentur dan lunak melebihi kehalusan Sabdo Palon Nayagenggong yang menolak Islam. Dan faktanya ajaran Islam semakin berkembang di Nusantara. Sehingga Hari Santri 2023, berthemakan ‘Jihad Santri, Jayakan Negeri’ sebuah kekuatan moderasi yang sudah terjadi. Dan santri bisa mengijuwantahkan modarasi tersebut.***