Pertahankan Nama Madrasah: Menghargai Sejarah dan Kontribusi Pendidikan Islam
Polemik mengenai penghapusan kata “madrasah” dari istilah satuan pendidikan formal dalam RUU Sisdiknas tidak hanya menyentuh soal linguistik, tetapi juga menyentuh hati sejarah pendidikan Indonesia. Madrasah, bukan sekadar nama, melainkan identitas yang terukir dalam perjalanan panjang pendidikan tanah air.
Madrasah adalah jejak sejarah. Sejak zaman kemerdekaan, ia menjadi garda terdepan dalam membentuk karakter dan keilmuan generasi kita. Kontribusinya yang luar biasa dalam mengembangkan pemikiran Islam dan meningkatkan intelektualitas masyarakat membuat Madrasah menjadi bagian tak terpisahkan dari warisan budaya dan kebijaksanaan lokal.
Lebih dari sekadar tradisi, keberlanjutan nama “Madrasah” membawa tanggung jawab besar. Ini tentang memastikan bahwa generasi mendatang tidak hanya mengenal, tetapi juga terhubung erat dengan akar keilmuan dan spiritualitas yang telah ditorehkan oleh lembaga ini selama puluhan tahun. Madrasah tidak hanya tempat belajar, tapi juga panggung pembentukan karakter dan penanaman nilai-nilai keagamaan.
RUU Sisdiknas yang hendak menghapus kata “madrasah” bukan sekadar pergantian istilah. Ini bisa merubah paradigma pendidikan Islam di Indonesia secara menyeluruh. Pemakaian istilah pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan keagamaan bisa membawa konsekuensi besar, termasuk terkait pengelolaan, pembiayaan, dan orientasi pendidikan.
Sebagai masyarakat yang mencintai sejarah dan nilai-nilai keberagaman, kita perlu bersatu mempertahankan eksistensi Madrasah. Keberlanjutan pendidikan Islam yang berkualitas dan berakar pada nilai-nilai lokal adalah tanggung jawab bersama. Di tengah perubahan, kita harus memastikan esensi dan nilai-nilai yang telah ditanamkan oleh Madrasah tidak hilang atau terlupakan.
Perubahan nama bukan hanya tentang pergantian kata, melainkan pergeseran pemahaman terhadap identitas dan tujuan pendidikan Islam di Indonesia. Ayo bersama-sama membuka ruang diskusi yang konstruktif, memastikan setiap langkah perubahan di dunia pendidikan diambil dengan kebijaksanaan dan rasa hormat terhadap sejarah yang membentuk kita sebagai bangsa. Pertahankan nama Madrasah, pertahankan warisan nilai-nilai keilmuan dan spiritualitas yang telah memberikan kontribusi besar bagi karakter dan kelangsungan peradaban kita.
“Kesetaraan dalam Pendidikan: Suara Alumni PGMI dan PGSD yang Harus Didengar”
Isu kesetaraan antara alumni Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) dan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) selalu mencuat saat rekrutmen CPNS atau PPPK dibuka. Saatnya mendengarkan suara mereka yang merasa tidak setara dalam kesempatan berkontribusi pada pembangunan negara.
Undang-undang dan regulasi terkait menegaskan prinsip non-diskriminatif dan kesetaraan dalam pengadaan CPNS atau PPPK. Namun, kenyataannya di lapangan seringkali berbeda, dengan sebagian daerah menolak alumni PGMI dengan alasan bidang ilmu tidak sesuai atau ijazah tidak linear.
Kewajiban Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk merespons konstitusi adalah panggilan bersama. Dalam menjaga kesetaraan, diperlukan langkah-langkah konkret dan transparan dalam rekrutmen CPNS dan PPPK. Peran aktif masyarakat sangat dibutuhkan untuk memastikan kebijakan ini dijalankan secara adil dan merata.
Mari bersama-sama menjaga keadilan dan kesetaraan dalam sistem pendidikan. Dengan memberikan suara bagi kesetaraan alumni PGMI, kita memastikan bahwa setiap warga negara, tanpa terkecuali, memiliki kesempatan setara dalam membangun masa depan bangsa ini.
Memperjuangkan Nama Madrasah: Suara NU & Muhammadiyah dalam RUU Sisdiknas”
Draft awal RUU Sisdiknas memicu kehebohan karena frasa “madrasah” hilang. Namun, berkat desakan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, akhirnya frase “Muhammadiyah” masuk ke dalam RUU Sisdiknas yang baru, meskipun belum disahkan oleh DPR.
Keberhasilan memasukkan frase “Madrasah” menjadi bukti nyata bahwa suara masyarakat, terutama dari lembaga Islam seperti NU dan Muhammadiyah, memiliki dampak besar dalam menentukan kebijakan pendidikan. Ini menunjukkan pentingnya partisipasi aktif masyarakat dalam membentuk regulasi yang berkaitan dengan identitas dan nilai-nilai keagamaan.
Namun, perjuangan untuk mempertahankan nama Madrasah belum selesai. Keterlibatan semua pihak, dari berbagai lapisan masyarakat, masih diperlukan untuk memastikan bahwa RUU Sisdiknas yang disahkan mencerminkan keberagaman dan menghormati sejarah pendidikan Islam di Indonesia.
Mari bersama-sama terus memperjuangkan keberlanjutan pendidikan Islam yang inklusif, bermutu, dan memegang teguh nilai-nilai lokal yang telah membentuk karakter bangsa. Suara bersama akan menjadi kekuatan yang tak terbantahkan dalam melestarikan warisan pendidikan yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari jati diri kita sebagai bangsa Indonesia.