Kelancaran Wukuf di Arafah: Kerjasama dan Dedikasi Berbagai Pihak
Hari Sabtu, 9 Dzulhijah atau 15 Juni 2024, merupakan hari yang penuh berkah bagi para jamaah haji seluruh dunia yang memulai kegiatan wukuf di Arafah, Mekah. Wukuf di Arafah inilah yang membedakan ibadah haji dengan ibadah yang lain. Bahkan, Arafah adalah substansi haji. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “al-hajju Arafah”. Haji adalah wukuf Arafah (HR. Abu Dawud).
Berbondong-bondong dua juta lebih jamaah haji dari seluruh penjuru dunia datang memenuhi panggilan Allah SWT. Mereka melantunkan, “Labbaikallahumma labbaik. Labbaika la syarika laka labbaik. Innal hamda wan nikmata laka wal mulk. La syarikalaka.” (Ya Allah, aku memenuhi panggilan-Mu, Ya Allah aku memenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, sesungguhnya pujian dan kenikmatan hanya milik-Mu, dan kerajaan hanyalah milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu). Haji adalah panggilan Ilahiyah, sesuai dengan firman Allah SWT: “(Wahai Ibrahim), serulah manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27).
Dengan demikian, haji bukan soal kekayaan yang melimpah atau jabatan yang tinggi, namun karena semata-mata panggilan dari Sang Maha Esa. Seolah ‘mengabaikan’ kesehatan dan kepayahan, para jamaah haji datang ke Baitullah. Tua, muda bahkan lanjut usia—yang kadang merasakan masyaqqat dalam perjalanan ke Baitullah. Namun, semua tidak dihiraukannya karena semua jamaah haji sejatinya adalah para pecinta Allah SWT. Para pecinta tidak merasakan lelah, kesulitan, ataupun kepayahan.
Berkah Kerjasama Berbagai Pihak
Keberhasilan pelaksanaan wukuf di Arafah dan mabit di Muzdalifah adalah hasil dari kerja keras dan kerjasama yang baik antara berbagai pihak, termasuk Kementerian Agama, petugas haji, pemerintah Arab Saudi, dan seluruh tim yang terlibat. Setiap detail, mulai dari logistik, kesehatan, hingga keamanan, telah diatur sedemikian rupa untuk memastikan kenyamanan dan keamanan jamaah.
Petugas kesehatan selalu siaga untuk memberikan layanan medis kepada jamaah yang membutuhkan. Tim logistik telah memastikan ketersediaan makanan dan minuman yang cukup, serta fasilitas yang memadai. Tidak hanya itu, petugas keamanan bekerja tanpa henti untuk menjaga ketertiban dan keamanan di Arafah dan Muzdalifah.
Syukur dan Terima Kasih
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas kelancaran pelaksanaan ibadah ini. Tidak ada kata yang dapat menggambarkan rasa syukur kami atas segala nikmat dan kemudahan yang telah diberikan.
Selain itu, kami juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Menteri Agama dan seluruh jajaran Kementerian Agama yang telah bekerja keras, tuntas, dan ikhlas dalam mengawal ibadah haji tahun ini. Meski jamaah penuh sesak, kerja keras dan dedikasi yang luar biasa dari seluruh tim telah membuat segala sesuatunya berjalan dengan baik.
Momentum Perkenalan Global
Jemaah haji ini datang dari berbagai negara dunia. Mereka bermacam-macam; ada yang berkulit hitam, berkulit putih, berkulit kuning, sawo matang, dan lain sebagainya. Bahasa pun berbeda-beda. Pada haji inilah, momentum manusia saling mengenal berbagai suku bangsa dunia. Jika kita merefer pada Al-Qur’an, fenomena ‘perkenalan global’ ini diabadikan dengan indah dalam Al-Qur’an:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal (li ta’aarafuu). Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurat: 13).
Dalam gramatikal Arab, asal kata lita’arafuu dalam ayat ini adalah ta’aarafa. Kata ta’arafa berasal dari kata ‘arafa yang berarti mengetahui atau mengenal. Dengan menjadi ta’arafa, berarti saling mengetahui atau saling mengenal. Lita’arafuu berarti agar supaya kamu saling kenal-mengenal. Dalam haji ini, kita bisa saling mengenal dengan berbagai Muslim dunia; Turki, Bangladesh, India, Pakistan, Tiongkok, Jepang, Uzbekistan, Bosnia, Belanda, dan lain sebagainya.
Dengan hanya menggunakan timing haji, kita pun bisa bertemu dengan berbagai karakter dan budaya manusia dari lima benua dunia; Asia, Afrika, Amerika, Australia dan juga Eropa. Ayat ini secara implisit juga berbicara tentang humanisme universal dimana tidak ada manusia yang lebih tinggi derajatnya atas manusia yang lain. Semuanya sama derajatnya di hadapan Allah SWT. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
“Laa fadla li ‘arabiyyin ‘ala a’jamiyin wa la li ‘ajamiyin ‘ala arabiyyin wala li abyadla ‘ala ahmara wala li ahmara ‘ala abyadla illa bit taqwa.” (HR. Ahmad). Orang Arab tidak lebih baik daripada orang non-Arab. Sebaliknya, orang Non-Arab tidak lebih baik daripada orang Arab. Orang kulit hitam tidak lebih baik dari pada orang kulit merah. Orang kulit merah tidak lebih baik daripada orang kulit hitam kecuali dengan takwa.
Hikmah Melempar Jumrah
Melempar jumrah adalah salah satu ritual penting dalam ibadah haji yang memiliki makna dan hikmah yang mendalam bagi umat Muslim. Berikut adalah beberapa hikmah yang dapat kita ambil dari ibadah melempar jumrah.
Simbol Penolakan Terhadap Godaan dan Kejahatan Melempar jumrah adalah sebuah tindakan simbolis yang melambangkan penolakan terhadap godaan setan dan kejahatan. Dalam sejarah Islam, peristiwa ini merujuk pada tindakan Nabi Ibrahim AS ketika beliau menolak godaan setan yang mencoba menghalangi ketaatannya kepada Allah SWT. Dengan melempar batu ke arah jumrah, para jamaah haji mengingatkan diri mereka sendiri untuk selalu menolak godaan setan dan berkomitmen pada jalan ketaatan kepada Allah SWT.
Pembaruan Tekad dan Iman Setiap batu yang dilemparkan ke jumrah merupakan simbol dari pembaruan tekad dan iman seorang Muslim. Dengan melempar jumrah, jamaah haji menyatakan tekad mereka untuk meninggalkan dosa-dosa masa lalu dan memperbaharui komitmen mereka untuk hidup sesuai dengan ajaran Islam. Ini adalah momen refleksi dan introspeksi, di mana setiap jamaah berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik di mata Allah SWT.
Pengingat Akan Keberanian Nabi Ibrahim AS Melempar jumrah juga mengingatkan kita akan keberanian dan ketaatan Nabi Ibrahim AS. Ketika Allah SWT memerintahkannya untuk mengorbankan putranya, Ismail AS, Nabi Ibrahim menunjukkan ketaatan yang luar biasa, meskipun setan mencoba menggodanya untuk tidak melaksanakan perintah tersebut. Tindakan melempar jumrah mengajarkan umat Muslim untuk memiliki keberanian dan keteguhan hati dalam menjalankan perintah Allah SWT, terlepas dari godaan atau rintangan yang dihadapi.
Simbol Persatuan dan Kesetaraan Umat Muslim Dalam prosesi melempar jumrah, jutaan umat Muslim dari berbagai penjuru dunia berkumpul di satu tempat, melakukan ibadah yang sama dengan tujuan yang sama. Hal ini menjadi simbol persatuan dan kesetaraan umat Muslim di hadapan Allah SWT. Tidak ada perbedaan status, suku, atau bangsa. Semua berdiri sama di hadapan Allah, mengenakan pakaian ihram yang sederhana, menunjukkan bahwa ketakwaanlah yang menjadi ukuran di sisi Allah SWT.
Menanamkan Kesadaran Akan Ketakwaan Seperti disebutkan dalam QS. Al-Hujurat: 13, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.” Melempar jumrah mengajarkan kepada setiap jamaah haji bahwa yang paling penting dalam hidup ini adalah ketakwaan kepada Allah SWT. Dengan melempar jumrah, umat Muslim diingatkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, yang utama adalah bagaimana mereka menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Pembebasan dari Beban Duniawi Prosesi melempar jumrah juga dapat dimaknai sebagai pembebasan dari beban duniawi. Jamaah haji melemparkan batu-batu kecil sebagai simbolisasi melepaskan diri dari beban dosa dan godaan duniawi. Ini mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati dan kedamaian batin hanya bisa dicapai dengan meninggalkan hal-hal yang menghalangi ketaatan kepada Allah SWT.