Prof Wawan Wahyuddin

Ketulusan dalam Kepemimpinan Publik: Etika di Tengah Birokrasi

Permintaan maaf secara terbuka dari Menteri Agama pasca pelaksanaan ibadah haji tahun 2025 menjadi momen yang patut dicermati secara khusus. Di tengah tekanan operasional dan ekspektasi publik yang tinggi, sikap tersebut menunjukkan bahwa dimensi etik dalam birokrasi masih mendapat tempat. Ketika seorang pemimpin bersedia mengakui kekurangan secara terbuka, itu bukan semata tindakan personal, melainkan simbol keberanian institusional dalam memperbaiki layanan ke depan.

Dalam konteks penyelenggaraan ibadah haji—yang melibatkan aspek logistik, spiritualitas, dan koordinasi antarnegara—sikap terbuka dari pejabat publik memberi ruang bagi evaluasi yang sehat. Ketulusan ini juga menyiratkan bahwa sistem pelayanan keagamaan tidak dapat berjalan optimal tanpa kepercayaan, dan kepercayaan tumbuh dari keterbukaan serta kesediaan mendengar.

“Permintaan maaf seorang pemimpin bukan sekadar pengakuan atas kekurangan teknis, melainkan manifestasi keberanian moral untuk memulai pembaruan. Di balik tutur lembut itu, kita melihat wajah birokrasi yang ingin kembali bertaut dengan nilai kemanusiaan dan keadilan.”Prof. Wawan Wahyuddin

Kepemimpinan yang mampu merangkul kritik dan menjadikannya landasan perbaikan adalah kepemimpinan yang bergerak dari reaktif menuju reflektif. Dalam pelayanan publik, terutama yang menyangkut aspek keagamaan, ketulusan menjadi modal utama untuk menjaga hubungan antara negara dan umat.

Tentu, permintaan maaf bukanlah akhir. Justru itu titik awal untuk membuka dialog, menyusun langkah-langkah korektif, dan memperkuat sistem. Ketika nilai etik dan spiritual mampu berjalan beriringan, maka birokrasi bukan lagi sekadar mesin administrasi, melainkan ruang pelayanan yang menyentuh akal dan hati.

https://wawanwahyuddin.com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*
*