
Preah Vihear dan Diplomasi Cinta: Dari Sengketa Warisan ke Jalan Kemanusiaan
Di puncak tebing setinggi 525 meter di pegunungan Dângrêk, berdiri Candi Preah Vihear—sebuah mahakarya arsitektur Hindu Khmer yang didedikasikan untuk Dewa Siwa. Dibangun secara bertahap sejak abad ke-9 hingga ke-12 oleh para raja Kekaisaran Khmer, candi ini tak sekadar situs spiritual, melainkan juga simbol kejayaan, identitas, dan klaim kedaulatan.
Dengan lima gerbang utama berhiaskan relief epik Mahabharata dan Ramayana, serta jalur prosesi sepanjang 800 meter yang melambangkan perjalanan menuju kesucian, Preah Vihear telah diakui sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO sejak 7 Juli 2008. Namun, keindahan agung ini tercemar oleh konflik yang tak kunjung usai.
Eskalasi Konflik 2025: Dari Lagu Kebangsaan ke Ledakan Ranjau
Ketegangan terbaru memuncak pada 24 Juli 2025, ketika bentrokan bersenjata meletus di sekitar kompleks candi dan perbatasan Thailand-Kamboja. Pemicunya bermula dari insiden 13 Februari, saat tentara Kamboja mengawal wisatawan menyanyikan lagu kebangsaan di Prasat Tamonton—sebuah tindakan yang diklaim Thailand sebagai pelanggaran protokol.
Eskalasi pun berlanjut dengan cepat:
- 17 Februari: Thailand melayangkan surat peringatan diplomatik.
- 28 Mei: Bentrokan pertama terjadi di area “segitiga emas” (pertemuan perbatasan Thailand, Kamboja, dan Laos).
- 16–23 Juli: Rangkaian ledakan ranjau dan serangan udara menyebabkan puluhan korban luka dan tewas.
- 24 Juli: Serangan udara Thailand menyasar posisi militer Kamboja di sekitar Preah Vihear.
Jumlah korban jiwa mencapai 38 orang, dan lebih dari 300.000 warga sipil terpaksa mengungsi. Akibat konflik ini, empat candi di area tersebut—Cong Anma, Cong Sangam, Cong Chong, dan Cong Saitako—ditutup.
Arsitektur dan Spiritualitas: Candi sebagai Kosmologi
Preah Vihear bukan hanya deretan batu. Ia adalah representasi visual Gunung Meru, pusat kosmologi Hindu, tempat bersemayamnya para dewa. Dibangun dengan batuan pasir raksasa, candi ini memiliki struktur bertingkat yang melambangkan perjalanan spiritual dari dunia fana menuju kesucian abadi.
Keunikan Preah Vihear terletak pada orientasi utara–selatan, berbeda dari candi Khmer lain yang umumnya menghadap timur. Relief dan ukiran dindingnya menggambarkan kisah-kisah Hindu seperti Samudra Manthana dan Nataraja, namun juga mengandung elemen Buddhis, mencerminkan sinkretisme spiritual yang khas dari Kekaisaran Khmer.
Warisan yang Terjebak di Garis Batas
Sengketa atas Preah Vihear telah berlangsung sejak 1907, saat Prancis menetapkan garis demarkasi kolonial yang menempatkan candi di wilayah Kamboja. Thailand menolak keputusan ini, berargumen bahwa akses utama ke candi berasal dari wilayahnya.
Pada 1962, Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan bahwa candi itu adalah milik Kamboja, namun putusan tersebut tidak menyelesaikan sengketa atas lahan di sekitarnya. Ketika UNESCO menetapkan Preah Vihear sebagai situs warisan dunia pada 2008, Thailand menganggapnya sebagai klaim sepihak, memicu bentrokan bersenjata yang berulang hingga kini.
Kurikulum Cinta: Jalan Tengah yang Terlupakan
Di tengah reruntuhan dan retorika nasionalisme yang memanas, gagasan Kurikulum Cinta yang digagas oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar menjadi sangat relevan dan mendesak. Cinta, dalam konteks ini, bukan sekadar afeksi personal, melainkan fondasi etis dalam membangun relasi sosial, merumuskan kebijakan publik, dan mengelola kehidupan berbangsa.
Seperti yang dinyatakan, “Preah Vihear seharusnya menjadi ruang bersama, bukan simbol perpecahan. Ketika cinta digantikan oleh klaim, dan spiritualitas dikerdilkan oleh kepentingan politik, maka candi pun kehilangan makna sucinya.”
Kurikulum Cinta menawarkan pendekatan yang membumi dan spiritual: bahwa diplomasi tidak harus keras, dan kebijakan tidak harus dingin. Bahwa cinta bisa menjadi strategi yang efektif, bukan kelemahan. Bahwa warisan budaya bisa menjadi jembatan penghubung, bukan medan tempur yang memisahkan.
Dari Candi ke Komitmen Kemanusiaan
Preah Vihear bukan hanya milik Kamboja atau Thailand; ia adalah milik umat manusia—sebuah warisan spiritual yang mengajarkan bahwa keagungan sejati tidak lahir dari dominasi, melainkan dari penghormatan dan pemahaman bersama. Ketika dua negara berseteru atas sepetak batu dan tanah, dunia kehilangan pelajaran berharga tentang jiwa dan makna keberadaan.
Mungkin sudah saatnya ASEAN, UNESCO, dan komunitas internasional bergerak lebih jauh, mendorong pengelolaan bersama situs ini. Bukan hanya untuk melindungi candi itu sendiri, tetapi untuk membangun kurikulum baru: kurikulum yang mengajarkan cinta sebagai dasar diplomasi, spiritualitas sebagai fondasi kebijakan, dan warisan budaya sebagai ruang bersama bagi kemanusiaan.