Prof Wawan Wahyuddin

Armuzna: Perjalanan Jiwa Menuju Kesucian

Di tanah suci, setiap langkah adalah pelajaran. Setiap tempat yang disinggahi membawa makna yang mendalam, mengajarkan manusia tentang hakikat hidup, tentang pertemuan dengan Tuhan, dan tentang perjuangan melawan godaan.

Prof. Wawan & Permaisuri

Di Arafah, manusia berkumpul, seperti kelak mereka akan berkumpul di Mahsyar. Tak ada perbedaan pangkat, jabatan, atau asal-usul—semua berdiri dalam ketundukan yang sama, di bawah langit yang menyaksikan linangan air mata dan doa yang terangkat tinggi. Di sini, kesadaran muncul: hidup hanyalah perjalanan menuju pertemuan abadi.

Pakaian ihram menjadi saksi bisu. Tak ada kain mewah, tak ada atribut duniawi, hanya selembar kain putih yang mengajarkan ketawaduan. Ia mencabut keangkuhan, melepas semua simbol kedudukan. Di hadapan Tuhan, yang tersisa hanyalah diri yang sejati—rapuh, berharap, dan penuh harapan akan kasih-Nya.

Malam di Muzdalifah, seharusnya bukan sekadar persinggahan, melainkan perenungan. Di bawah langit yang terbentang luas, manusia merefleksi perjalanan hidupnya—salah dan benar, jatuh dan bangun, semua menjadi bagian dari muhasabah yang mendalam. Bagi yang sehat, ini adalah kesempatan bersyukur; bagi yang sakit, ini adalah bukti bahwa ibadah adalah kekuatan yang tak mengenal batas tubuh.

Di Mina, tangan melempar jumroh, tetapi sesungguhnya hati sedang melempar setan. Godaan tidak akan pernah lenyap, ia selalu datang dengan wajah baru, dengan bisikan yang licik, dengan rayuan yang halus. Namun, dengan setiap batu yang dilempar, manusia diajarkan untuk teguh, untuk tidak menyerah, untuk terus melawan.

Dan lebih dari sekadar ritual, setiap lemparan adalah pelepasan diri dari tujuh penyakit hati yang merusak: iri, dengki, hasud, pelit, sombong, dendam, dan kufur nikmat. Batu-batu kecil itu bukan sekadar benda, tetapi simbol tekad bahwa manusia bisa berubah, bahwa manusia harus berubah.

Armuzna bukan hanya perjalanan fisik, tetapi perjalanan jiwa. Ia mengajarkan ketundukan, kesederhanaan, kesabaran, dan perlawanan terhadap godaan. Ia membawa manusia lebih dekat pada Tuhannya, lebih sadar akan kelemahannya, dan lebih kuat dalam menghadapi ujian hidup.

Dan ketika perjalanan ini selesai, hati yang kembali harus lebih bersih, lebih ikhlas, lebih penuh syukur—agar kelak, ketika hari Mahsyar benar-benar tiba, manusia sudah siap bertemu dengan-Nya.

https://wawanwahyuddin.com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*
*