Prof Wawan Wahyuddin

Menyongsong Kembali Cita-cita Mulia: Peran Dekrit 5 Juli 1959

Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit yang menjadi tonggak penting dalam sejarah Indonesia. Dekrit tersebut, yang dikenal dengan nama Dekrit Presiden 5 Juli 1959, menjadi titik balik dalam perjalanan bangsa Indonesia untuk kembali kepada cita-cita luhur Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dekrit ini menandai berakhirnya era Demokrasi Liberal dan kembalinya Indonesia kepada UUD 1945 sebagai dasar negara.

 Latar Belakang Dekrit

Pasca Proklamasi Kemerdekaan, Indonesia menghadapi berbagai tantangan internal dan eksternal. Pada awalnya, UUD 1945 yang disusun dalam situasi darurat selama Perang Dunia II, menjadi landasan hukum negara. Namun, pada tahun 1950, Indonesia mengadopsi UUD Sementara 1950 yang menganut sistem parlementer. Demokrasi Liberal yang diterapkan ternyata tidak mampu memberikan stabilitas politik yang diharapkan. Terjadi pergantian kabinet yang sangat sering, konflik antar partai politik, dan ketidakpuasan di berbagai daerah.

Situasi politik yang tidak stabil ini menyebabkan krisis kepercayaan dan kegagalan pemerintahan dalam mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat. Di tengah ketidakpastian ini, Presiden Soekarno mengusulkan kembali kepada UUD 1945 sebagai solusi untuk mengatasi krisis nasional.

 

Isi dan Dampak Dekrit

Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengumumkan Dekrit Presiden yang berisi tiga poin utama:

  1. Pembubaran Konstituante.
  2. Pemberlakuan kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara 1950.
  3. Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Dengan Dekrit ini, Presiden Soekarno mengambil alih kekuasaan dan memusatkan pemerintahan di bawah satu tangan, serta mengembalikan Indonesia kepada sistem presidensial sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Dekrit ini juga menandai berakhirnya era Demokrasi Liberal dan dimulainya era Demokrasi Terpimpin.

Dampak dari Dekrit 5 Juli 1959 sangat signifikan. Pertama, Indonesia kembali kepada landasan hukum yang dianggap lebih sesuai dengan kondisi dan cita-cita bangsa. Kedua, stabilitas politik mulai terbentuk meskipun dengan kontrol yang lebih sentralistis dari Presiden Soekarno. Ketiga, dekrit ini membuka jalan bagi penyusunan kembali struktur pemerintahan dan menguatkan peran militer dalam politik.

 Momentum Kembali ke Cita-cita Proklamasi

Dekrit 5 Juli 1959 tidak hanya sekedar perubahan konstitusi, tetapi juga sebuah momentum penting bagi bangsa Indonesia untuk merefleksikan kembali cita-cita Proklamasi Kemerdekaan. Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah puncak perjuangan panjang bangsa Indonesia untuk merdeka, dan di dalamnya terkandung harapan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

Dengan kembali kepada UUD 1945, Presiden Soekarno mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk mengingat kembali semangat kebangsaan, persatuan, dan keadilan sosial yang menjadi tujuan utama kemerdekaan. Ini juga menjadi pengingat bahwa kemerdekaan bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan awal dari usaha keras untuk membangun bangsa yang berdaulat, adil, dan makmur.

Kesimpulan

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah sebuah langkah berani dari Presiden Soekarno untuk mengatasi krisis nasional dan mengarahkan kembali bangsa Indonesia kepada cita-cita luhur Proklamasi 1945. Melalui dekrit ini, Indonesia kembali ke UUD 1945 yang menjadi landasan hukum dan simbol perjuangan kemerdekaan. Meskipun langkah ini membawa konsekuensi politik yang besar, namun ia juga membuka jalan bagi stabilitas dan pembangunan yang lebih berkelanjutan.

Dekrit 5 Juli 1959 adalah sebuah pengingat bahwa perjuangan untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan adalah tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa. Semangat kebangsaan, persatuan, dan keadilan sosial harus selalu menjadi pemandu dalam setiap langkah pembangunan nasional.

 

Referensi

  1. Djajadiningrat-Nieuwenhuis, M. (1993, April 1). Noto Soeroto: His Ideas and the Late Colonial Intellectual Climate. , 55, 41-41. https://doi.org/10.2307/3351086
  2. Imanita, M., & Insani, M. (2022, January 1). The Roles of Abu Bakar Sidiq in Maintaining Lampung Residence During the Dutch Military Aggression II in North Lampung. https://doi.org/10.2991/assehr.k.220102.025
  3. Juanda, O., & Juanda, J. (2023, February 10). The Ideal Law State Concept in Indonesia; The Reality and The Solution. , 3(2), 251-262. https://doi.org/10.38035/jlph.v3i2.172
  4. Muhlashin, I. (2021, June 29). Negara Hukum, Demokrasi dan Penegakan Hukum di Indonesia. , 8(1), 87-100. https://doi.org/10.24252/al-qadau.v8i1.18114
  5. Rejeki, S., & Hasanah, S. (2019, January 1). Human Rights Perspective in The Law of Legal Products in Indonesia. https://doi.org/10.32698/hum0204
  6. Rinardi, H. (2017, November 22). Proklamasi 17 Agustus 1945: Revolusi Politik Bangsa Indonesia. Diponegoro University, 2(2), 143-143. https://doi.org/10.14710/jscl.v2i2.16170
  7. Yudhi, R., & Yuniati, A. (2022, January 1). Working Health Protection Policy Against Workers in the Pandemic Time Covid-19. https://doi.org/10.2991/assehr.k.220102.057

https://wawanwahyuddin.com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*
*