Manajemen Konflik, Menjaga NKRI
Oleh Prof. Dr. Wawan Wahyuddin, M.Pd, Pembina Yabunaya
Gelombang Demonstrasi yang Mengguncang
Gelombang demonstrasi yang melanda berbagai daerah Indonesia baru-baru ini, dipicu isu kenaikan tunjangan DPR yang ramai dibicarakan publik. Aksi yang semula damai berubah menjadi kerusuhan, menimbulkan kerusakan fasilitas umum, bahkan memakan korban jiwa. Peristiwa ini memberi pesan penting: manajemen konflik di negeri kita masih lemah.
Dari Antisipasi ke “By Accident”
Dalam literatur manajemen konflik, dikenal dua pendekatan: anticipation (antisipasi) dan by accident (respon setelah masalah meledak). Pola yang kerap terlihat di Indonesia adalah “by accident”. Pemerintah, aparat, dan pembuat kebijakan sering baru bergerak ketika konflik sudah membesar.
Contohnya tampak jelas dalam demonstrasi terakhir. Saat aspirasi publik tidak tertampung sejak awal, eskalasi di lapangan menjadi sulit terkendali. Dalam kekacauan itu, seorang pengemudi ojek online dilaporkan terlindas mobil rantis Brimob, dan seorang mahasiswa di Yogyakarta meninggal dunia. Peristiwa ini menunjukkan bahwa ketika konflik tidak dikelola sejak dini, yang menjadi korban adalah rakyat biasa.
Respons Lambat dan Rapuhnya Kepercayaan
Masyarakat menilai bahwa respons pemerintah dan DPR berjalan lambat, komunikasi publik kurang empatik, sementara solusi yang ditawarkan tidak menyentuh akar masalah. Situasi ini berbahaya karena kepercayaan publik terhadap institusi negara semakin terkikis. Kepercayaan adalah modal sosial penting untuk menjaga NKRI. Tanpa itu, konflik kecil bisa berkembang menjadi krisis besar.
Jalan Tengah: Antisipasi, Aspirasi, dan Transparansi
Manajemen konflik yang sehat menuntut langkah-langkah konkret, antara lain:
-
Sistem peringatan dini (early warning system) untuk membaca potensi gejolak sebelum meluas.
-
Ruang dialog antara rakyat, DPR, pemerintah, tokoh masyarakat, dan tokoh agama sejak perencanaan kebijakan.
-
Transparansi anggaran sebagai bentuk akuntabilitas, termasuk evaluasi tunjangan DPR.
-
Penguatan DPRD dan lembaga yudikatif agar mampu menyerap aspirasi daerah dan menjaga keadilan hukum.
Dengan pendekatan antisipatif semacam ini, konflik tidak harus selalu menunggu “ledakan” di jalanan.
Nilai Agama sebagai Fondasi Moral
Sejarah menunjukkan bahwa konflik hadir sejak awal kehidupan manusia. Untuk itu, Allah menurunkan para nabi, dan bagi umat Islam, Nabi Muhammad SAW mewariskan dua pusaka: Al-Qur’an dan Sunnah.
Ketika krisis melanda, Al-Qur’an mengajarkan solusi: sabar dan sholat (QS. Al-Baqarah: 45–46). Sholat yang khusyu’ bukan sekadar ritual, tetapi sarana mendekat kepada Allah, menenangkan batin, dan membimbing perilaku. Bila nilai ini benar-benar dihidupi, kepemimpinan bangsa akan berakar pada kejujuran, empati, dan amanah.
Menjaga NKRI Berarti Menjaga Hati Rakyat
Manajemen konflik sejati bukan hanya soal teknis, tetapi juga moralitas dan kepedulian. Menjaga NKRI berarti menjaga hati rakyat dengan kebijakan yang adil, transparan, dan berpihak pada kepentingan bersama.
Peristiwa ojol yang terlindas rantis dan mahasiswa yang kehilangan nyawa menjadi alarm keras. Konflik yang dikelola “by accident” hampir selalu meninggalkan korban. Saatnya bangsa ini membangun budaya antisipasi, membuka ruang dialog, serta kembali kepada nilai luhur agama dan konstitusi. Itulah jalan untuk merawat NKRI.